Candi
Panataran terletak di lereng barat daya Gunung Kelud, sekitar 12 km ke
arah utara dari Kota Blitar, tepatnya di Desa Panataran, Kecamatan
Ngleggok, Kotamadya Blitar. Candi ini merupakan sekumpulan bangunan kuno
yang berjajar dari barat-laut ke timur kemudian berlanjut ke tenggara,
menempati lahan seluas 12.946 m2.Gugus candi Panataran
ditemukan kembali pada tahun 1815 oleh Sir Thomas Stamford Raffles (1781
– 1826), Letnan Gubernur Jenderal pemerintah kolonial Inggris yang
berkuasa di Nusantara pada waktu itu. Bersama Dr. Horsfield seorang ahli
ilmu alam, Raffles mengadakan kunjungan ke Candi Panataran. Setelah
diketemukan kembali oleh Raffles, para peneliti mulai berdatangan untuk
melakukan penyelidikan dan pencatatan benda purbakala di kawasan
Panataran. Pada tahun 1867, Andre de la Porte bersama J. Knebel juga
mengadakan penelitian terhadap kawasan candi Panataran. Hasil
penelitiannya diterbitkan pada tahun 1900 dengan judul “De ruines van
Panataran”.
Dalam kitab Negarakertagama, Candi Penataran disebut
dengan nama Candi Palah. Diceritakan bahwa Raja Hayam Wuruk (1350 - 1389
M) dari Majapahit sering mengunjungi Palah untuk memuja Hyang
Acalapati, atau yang dikenal sebagai Girindra (berarti raja gunung)
dalam kepercayaan Syiwa. Oleh karena itu, jelas bahwa Candi Palah
sengaja dibangun di kawasan dengan latar belakang Gunung Kelud, karena
memang dimaksudkan sebagai tempat untuk memuja gunung. Pemujaan terhadap
Gunung Kelud bertujuan untuk menangkal bahaya dan menghindarkan diri
dari petaka yang dapat ditimbulkan oleh gunung tersebut.
Berdasarkan
tulisan pada sebuah batu yang terletak sisi selatan bangunan utamanya,
diduga bahwa Candi Palah dibangun pada awal abad 12 M, atas perintah
Raja Srengga dari Kediri. Walaupun demikian, Candi Panataran terus
mengalami pengembangan dan perbaikan sampai dengan, bahkan sesudah, masa
pemerintahan Raja Hayam Wuruk. Dugaan ini didasarkan pada berbagai
angka tahun yang tertulis pada berbagai tempat di candi ini yang
berkisar antara tahun 1197 sampai tahun 1454 M. Seluruh areal Panataran,
kecuali halaman yang berada di bagian tenggara, terbagi oleh dua jalur
dinding yang melintang dari utara ke selatan menjadi tiga bagian.
a. Gerbang
Gerbang
masuk ke areal candi terletak sisi barat. Dari pintu masuk terdapat
tangga turun ke pelataran seluas sekitar 6 m2. Di pelataran ini terdapat
dua buah arca raksasa penjaga pintu (dwarapala), Pada tatakan arca
tertera tulisan tahun 1242 Saka (1320 M.) dalam huruf Jawa kuno.
Berdasarkan tulisan angka tahun tersebut para pakar menduga bahwa Candi
Panataran baru diresmikan sebagai tempat suci milik kerajaan (state
temple) pada masa pemerintahan Raja Jayanegara, yang memerintah
Majapahit tahun 1309-1328 M.Di sisi belakang emperan, di
antara kedua arca Dwaraphala tersebut, terdapat tangga naik menuju ke
pelataran depan. Di puncak tangga masih terdapat sisa-sisa pintu gerbang
dari bahan batu bata merah. Pintu gerbang ini masih disebut-sebut oleh
Jonathan Rigg dalam kunjungannya ke Candi Panataran pada tahun 1848.
Susunan
Candi Panataran memang menarik karena letak bangunan yang satu dengan
yang lainnya berhadap-hadapan, berjajar dari depan ke belakang, sehingga
sepintas kelihatan agak membingungkan. Susunan bangunan semacam ini
mirip dengan susunan pura di Bali. Dalam susunan seperti ini, bangunan
yang paling suci terletak di pelataran paling dalam atau paling
belakang, yaitu yang paling dekat dengan gunung.
b. Pelataran Depan
Bale
Agung. Di pelataran depan terdapat sekitar 6 buah bekas bangunan, 2
buah diantaranya tidak dapat dikenali lagi bentuk aslinya. Salah satu
bangunan yang penting adalah Bale Agung, yang terletak di sisi
barat-laut pelataran depan, agak menjorok ke barat (ke depan).Bale
Agung, menurut N.J.Krom, dipergunakan untuk tempat musyawarah para
pendeta atau penanda, seperti pura di Bali. Bale Agung merupakan
bangunan yang berbentuk seperti panggung persegi panjang berukuran 37 X
18,84 m2 dengan lantai setinggi 1,44 meter. Dinding dan atap bangunan
sudah tak bersisa. Hanya lantainya yang masih utuh.Pada lantai
terdapat beberapa umpak batu yang diperkirakan fungsinya dahulu adalah
sebagai penumpu tiang-tiang kayu penyangga atap. Seluruh lantai terbuat
dari batu, dihiasi pahatan naga yang melilit di sekeliling dinding
lantai dan kepalanya menyembul di setiap sudut lantai.
Di
pertengahan setiap sisi terdapat tangga diapit dua buah arca Mahakala.
Semua arca Mahakala masih berada di tempatnya kecuali yang berada di
sisi timur.
Tempat
Tinggal Pendeta. Bangunan yang letaknya di sisi utara, sejajar dengan
Bale Agung, ini diperkirakan dahulu digunakan sebagai tempat tinggal
pendeta. Seluruh bangunan sudah hancur, sehingga hanya tinggal tatanan
umpak yang tersisa.
Batur
Pendapa. Bangunan ini disebut juga Batur Pendapa. Letaknya di sebelah
tenggara Bale Agung, tepat di belakang tempat tinggal para pendeta.
Sebagaimana halnya dengan Bale Agung, yang masih tersisa saat ini
hanyalah lantai bangunan yang terbuat dari batu, seluas 29,05 X 9,22 m2
dengan tinggi 1,5 m. Sekeliling dinding lantai dihiasi dengan relief
cerita-cerita. Diduga bangunan Batur Pendapa ini dahulu berfungsi
sebagai tempat untuk meletakkan sesajian dalam upacara keagamaan.Tangga
untuk naik ke lantai pendapa hanya terdapat di sisi barat atau bagian
depan. Terdapat dua buah tangga, di kiri dan di kanan, yang pada
masing-masing diapit oleh sepasang arca raksasa kecil bersayap, bertumpu
pada salah satu lututnya dan salah satu tangannya memegang gada. Pipi
atau dinding pembatas tangga berbentuk gelung dengan hiasan 'tumpal'
yang indah pada puncaknya. Pada pelipit atas sisi timur dinding lantai,
tersembunyi di antara pahatan hiasan sulur dan dedaunan, terdapat
pahatan angka tahun yang menunjukkan bahwa bangunan ini dibangun pada
tahun 1297 Saka atau 1375 Masehi.
Batur Pendapa ini juga dihiasi
dengan pahatan naga-naga yang saling membelakangi, melilit di sekililing
dinding lantai. Ekor kedua naga yang saling membelakangi tersebut
saling membelit, sedangkan kepalanya yang mendongak keatas, memakai
kalung dan berjambul menyembul ke atas di antara pilar-pilar bangunan.
Bangunan
Lain. Kedua bekas bangunan lainnya hanya tinggal fondasinya yang
terbuat dari bata merah. Melihat banyaknya umpak batu yang tersisa di
pelataran depan, diduga dahulu terdapat bangunan-bangunan yang
menggunakan tiang kayu seperti yang dijumpai pada pura-pura di Bali.
Banyaknya bangunan yang menggunakan tiang-tiang kayu belum diketahui
secara pasti.
c. Pelataran tengah
Sekitar 8 m di timur atau
belakang Batur Pendapa terdapat bekas dinding batu bata yang melintang
dari utara ke selatan, yang membatasi pelataran depan dengan pelataran
tengah. Di ujung selatan perbatasan, segaris dengan gerbang depan,
terdapat bekas pintu gerbang yang di depannya dijaga oleh sepasang Arca
Dwarapala dalam ukuran yang lebih kecil daripada yang terdapat di
gerbang depan. Pada tatakan salah satu arca tertera angka tahun 1214
Saka (1319 M). Belum diketahui peristiwa apa yang dikaitkan dengan angka
tahun ini. Di pelataran tengah ini masih dapat disaksikan sekitar 7
bekas bangunan, baik yang terbuat dari bahan batu bata merah maupun yang
dibuat dari bahan batu andesit. Dari ketujuh bekas bangunan tersebut
enam di antaranya sudah tidak dapat dikenali bentuknya.
Pelataran
tengah terbagi dua lagi oleh dinding yang membujur arah timur-barat.
Belum dapat diketahui apakah pelataran tengah ini dahulu dikelilingi
oleh tembok, karena yang tertinggal hanya fondasi saja. Begitu juga
tembok yang mengelilingi seluruh areal Panataran sudah runtuh. Tembok
keliling dan dinding penyekat terbuat dari bahan batu bata merah yang
tak mampu bertahan dalam perjalanan waktu yang panjang.
Candi
Angka Tahun. Bangunan ini berada sekitar 20 m. di sebelah timur Batur
Pendapa, seluruhnya terbuat dari batu andesit. Disebut Candi Angka Tahun
karena bangunan di atas ambang pintu masuknya jelas terpahat angka
tahun 1291 Saka (1369 M). Masyarakat setempat lebih mengenalnya dengan
sebutan Candi Brawijaya, karena bangunan ini dipergunakan sebagai
lambang Kodam Brawijaya. Sebagian orang menyebutnya Candi Ganesha,
karena di dalam bilik candi terdapat sebuah arca Ganesha (dewa berkepala
gajah). Bentuk Candi Angka Tahun ini sangat dikenal masyarakat,
sehingga seakan-akan mewakili seluruh candi Panataran.Candi
Angka tahun menghadap ke barat, karena pintu candi terletak di sisi
barat. Di halaman depan, di kiri dan kanan bangunan candi, terdapat
sepasang arca. Kaki candi cukup tinggi, sehingga untuk mencapai pintu
dibuat tangga batu dengan pipi tangga berbentuk 'ukel' (gelung) besar
dengan hiasan ' tumpal' berupa bunga-bungaan dalam susunan segitiga sama
kaki. Dalam tubuh candi terdapat bilik (garba grha), yang di dalamnya
terdapat arca Ganesha.
Sebagaimana
candi lainnya, di atas ambang pintu terdapat hiasan kalamakara. Tepat
di bawahnya, tertera angka tahun yang telah dijelaskan di atas. Pada
dinding di ketiga sisi lainnya terdapat relung yang menyerupai pintu
semu, yang juga dihiasi dengan kalamakara di atasnya. Di Jawa Timur,
Kalamakara sering disebut Banaspati yang berarti raja hutan. Kala di
atas ambang pintu dan relung candi dimaksudkan untuk menakut-nakuti roh
jahat agar tidak berani masuk ke lingkungan candi.Atap candi
dipenuhi dengan hiasan yang meriah, dengan puncak berbentuk persegi. Di
bagian atas bilik candi pada batu penutup sungkup terdapat relief
'Surya', yakni lingkaran yang dikelilingi oleh pancaran sinar berupa
garis-garis bersusun vertikal membentuk beberapa buah segitiga sama
kaki. Relief 'Surya' yang merupakan lambang Kerajaan Majapahit ini juga
ditemukan di beberapa candi lain di Jawa Timur dalam bentuk yang sedikit
bervariasi.
Candi
Naga. Bangunan ini di sebut Candi Naga karena sekeliling tubuhnya
dililit oleh pahatan berwujud naga. Bangunan candi seluas 4.83 X 6,57 m.
dengan tinggi 4,70 m. ini juga terletak di pelataran tengah. Seluruh
bangunan terbuat dari batu andesit. Seperti Candi Angka Tahun, pintu
masuk ke bilik candi terletak di sisi barat. Kaki candi cukup tinggi,
sehingga untuk mencapai pintu dibuatkan tangga. Pipi tangga berbentuk
'ukel' berhiaskan 'tumpal'. Di kanan kiri kaki tangga terdapat arca
raksasa membawa gada yang saat ini hanya tinggal satu. Bangunan yang ada
saat ini merupakan hasil pemugaran tahun 1917-1918. Yang berhasil
dikembalikan ke bentuk aslinya hanya bagian kaki dan tubuh candi. Bagian
atap yang kemungkinan dibuat dari bahan yang tidak tahan lama telah
runtuh.
Pada
dinding tubuh candi terdapat pahatan sembilan tokoh yang berdiri di
kiri dan kanan pintu masuk, di setiap sudut, dan di tengah ketiga
dinding lainnya. Kesembilan tokoh ini digambarkan dalam busana kerajaan
yang mewah dan dilatarbelakangi oleh 'prabha' (tempat bersandar yang
dihisasi dengan sinar kedewaan).Salah satu tangannya memegang
genta, sedang tangan yang lain menyangga tubuh naga yang melingkari
bagian atas bangunan. Di antara pahatan tokoh-tokoh tersebut terdapat
pahatan bermotif bulatan yang disebut 'motif medalion'. Dalam bulatan
terdapat kombinasi relief daun-daunan atau bunga-bungaan dan berbagai
jenis binatang. Di antara bulatan-bulatan tersebut terdapat relief
cerita binatang dalam ukuran yang lebih kecil. Sayang cerita yang
digambarkan dalam relief ini belum dapat diungkapkan.
Menurut
orang Bali yang pernah mengunjungi Panataran, fungsi Candi Naga sama
dengan fungsi Pura Kehen di Bali, yaitu sebagai tempat penyimpanan
benda-benda milik para dewa. Barangkali lebih tepat bila Candi Naga
dibandingkan dengan Pura Taman Sari yang terletak di Kabupaten
Klungkung. Pura yang ditemukan tahun 1975 ini menunjukkan pertalian yang
dekat dengan kerajaan Majapahit. Selain berfungsi sebagai tempat
pemujaan Kerajaan Klungkung, Pura Taman Sari juga dipergunakan sebagai
tempat 'pemasupatian' (pemberian kesaktian) terhadap senjata-senjata
pusaka yang dibawa dari kerajaan Majapahit. Apabila perbandingan ini
dapat dibenarkan, maka fungsi Candi Naga bukan hanya untuk menyimpan
benda-benda upacara milik para dewa, tetapi lebih juga sebagai tempat
'pemasupatian' pusaka milik kerajaan Majapahit. Dengan demikian, untuk
keperluan 'pemasupatian', pusaka-pusaka Majapahit tidak perlu dibawa ke
Bali.d. Pelataran Dalam
Halaman
terakhir adalah pelataran dalam yang semula juga dibatasi dengan
dinding yang melintang arah utara-selatan. Di selatan juga terdapat
bekas pintu gerbang yang dijaga oleh sepasang arca dwarapala. Di
pelataran ini terdapat sekurangnya 9 bangunan, 2 buah yang sudah dapat
dikenali adalah candi induk dan susunan percobaan bangunan tubuhnya.
Ketujuh bangunan lainnya tinggal reruntuhan yang masih belum
terungkapkan bentuk dan fungsinya.
Candi
Utama (Induk). Candi Induk merupakan bangunan yang terbesar di antara
seluruh bangunan Panataran. Lokasi bangunan terletak di pelataran paling
belakang (timur), yang dianggap sebagai bagian yang suci. Bangunan
candi terdiri atas tiga teras bersusun dengan tinggi seluruhnya 7,19 m.Teras
pertama berbentuk empat persegi dengan diameter 30,06 meter untuk arah
timur barat. Di pertengahan keempat sisinya terdapat bagian yang
menjorok keluar sekitar 3 m. Untuk naik ke teras pertama, terdapat dua
buah tangga di kiri dan kanan sisi barat. Pada masing-masing sisi kedua
tangga terdapat arca dwarapala yang pada tatakannya terpahat angka tahun
1269 Saka (1347 M). Sepanjang dinding teras pertama dipenuhi pahatan
relief cerita.
Teras kedua berukuran lebih kecil dibandingkan
dengan teras pertama, karena pada bagian yang menjorok keluar di teras
pertama justru sedikit menjorok ke dalam di teras kedua. Perbedaan
ukuran antara teras pertama dan teras kedua membentuk selasar di lantai
teras pertama, yang memungkinkan orang berjalan mengelilingi bangunan
sambil menyaksikan adegan-adegan yang digambarkan dalam relief cerita
yang terpahat di sepanjang dinding. Pada dinding di teras pertama dan
kedua berjajar panil pahatan cerita Ramayana dan dan Krisnayana
diselingi dengan hiasan motif medalion.
Pada
teras kedua terdapat sebuah tangga naik yang letaknya hampir di
pertengahan dinding. Tangga naik ini bersambung dengan tangga yang
berada di teras ketiga.Teras ketiga berbentuk hampir bujur
sangkar. Dindingnya berpahatkan naga bersayap dengan kepala yang sedikit
mendongak ke depan dan singa bersayap dengan kaki belakang dalam posisi
berjongkok sedangkan kaki depannya terangkat ke atas. Pahatan-pahatan
pada dinding teras ketiga ini selain untuk mengisi bidang yang kosong
juga berfungsi sebagai pilar bangunan.
Pada
waktu dilakukan pembongkaran lantai teras ketiga, dalam rangka
pemugaran, didapati bahwa bagian tengah lantai terbuat dari bata merah.
Nampak jelas denah bangunan yang berbentuk persegi empat dengan
bagian-bagian yang menjorok kedepan. Berdasarkan temuan tersebut, timbul
dugaan bahwa bangunan asli Candi Panataran dibuat dari bata merah.
Dalam kurun waktu berikutnya Panataran mengalami perluasan dengan cara
menutupi bangunan aslinya menggunakan batu andesit. Perluasan itu
diperkirakan terjadi pada zaman Majapahit.
Teras
ketiga merupakan emperan kosong. Di tempat itu seharusnya berdiri tubuh
candi yang sampai saat ini belum berhasil dikembalikan ke wujud aslinya
karena belum semua bagian bangunan berhasil ditemukan. Sebagian dari
tubuh candi induk ini telah disusun dalam susunan percobaan di halaman
candi.Prasasti Palah. Di selatan candi utama masih berdiri
tegak sebuah batu prasasti. Menilik besarnya ukuran batu prasasti, para
ahli menduga sejak semula batu tersebut memang terletak di tempat itu.
Prasasti
yang ditulis menggunakan huruf Jawa Kuno tersebut berangka tahun 1119
Saka (1197 M.), dibuat atas perintah Raja Srengga dari Kerajaan Kediri.
Isi prasasti yang, antara lain, menyebutkan tentang peresmian sebuah
tanah perdikan untuk kepentingan Sira Paduka Batara Palah, mendasari
dugaan bahwa yang dimaksud dengan Palah tidak lain adalah Candi
Panataran. Andaikata benar bahwa Palah adalah Candi Panataran, maka usia
Candi Panataran sekurangnya telah mencapai 250 tahun dan pembangunan
candi ini mengalami perjalanan panjang, yaitu dari tahun 1197, zaman
kerajaan Kediri, sampai pada tahun 1454, zaman kerajaan Majapahit.
Hampir semua bangunan yang dapat masih dapat disaksikan sekarang berasal
dari masa pemerintahan raja-raja Majapahit. Barangkali
bangunan-bangunan yang lebih tua (dari zaman Kediri) telah lama runtuh.e. Bangunan lain.
Masih
ada dua buah bangunan lain yang letaknya di luar areal Panataran yang
masih ada hubungannya dengan candi Panataran, yaitu sebuah kolam
berangka tahun 1337 Saka (1415 M.) yang terletak di sebelah tenggara dan
sebuah kolam 'petirtaan' (tempat mandi) dalam ukuran yang agak besar,
yang terletak kira-kira 200 meter di timur-laut areal candi.