hum tere bin ab reh nahi sakte,
tere bina kya wajood mera?
hum tere bin ab reh nahi sakte,
tere bina kya wajood mera?
tujh se juda agar ho jaayenge,
toh khud se hi ho jaayenge juda.
Kyun ki tum hi ho
ab tum hi ho,
zindagi ab tum hi ho.
chain bhi,
mera dard bhi.
meri aashiqui ab tum hi ho.
tera mera rishta hai kaisa?
ek pal door gawara nahi.
tere liye har roz hain jeete;
tujhko diya mera waqt sabhi.
koi lamha mera na ho tere bina,
har saans pe naam tera.
kyun ki tum hi ho
ab tum hi ho,
zindagi ab tum hi ho.
chain bhi,
mera dard bhi.
meri aashiqui ab tum hi ho.
tum hi ho..
tum hi ho..
tere liye hi jiya main.
khudko jo yun de diya hai.
tere wafa ne mujhko sambhala;
saare ghamon ko dil se nikala.
tere saath mera hai naseeb juda,
tujhe paake addhura na raha.
mmm..
kyun ki tum hi ho
ab tum hi ho,
zindagi ab tum hi ho.
chain bhi,
mera dard bhi.
meri aashiqui ab tum hi ho.
kyun ki tum hi ho
ab tum hi ho,
zindagi ab tum hi ho.
chain bhi,
mera dard bhi.
meri aashiqui ab tum hi ho.
Khaka Venye Vaghela
Selasa, 28 Juni 2016
Sabtu, 28 Mei 2016
Lirik Lagu Cinta Dan Rahasia feat. Glenn Fredly - Yura
terakhir kutatap mata indahmu
dibawah bintang bintang
terbelah hatiku
antara cinta dan rahasia
ku cinta pada mu namun kau milik
sahabatku dilema
hatiku
andai ku bisa berkata sejujurnya
jangan kau pilih dia
pilihlah aku yang mampu mencinta mu lebih dari dia
bukan ku ingin merebutmu dari sahabat ku
namun kau tahu
cinta tak bisa tak bisa kau salahkan
ku cinta pada mu namun kau milik
sahabatku dilema
hatiku
andai ku bisa berkata sejujurnya
jangan kau pilih dia
pilihlah aku yang mampu mencinta mu lebih dari dia
bukan ku ingin merebutmu dari sahabat ku
namun kau tahu
cinta tak bisa tak bisa kau salahkan
jangan kau pilih dia
pilihlah aku yang mampu mencinta mu lebih dari dia
bukan ku ingin merebutmu dari sahabat ku
namun kau tahu
cinta tak bisa tak bisa kau salahkan
tak bisa kau salahkan
tak bisa kau salahkan
dibawah bintang bintang
terbelah hatiku
antara cinta dan rahasia
ku cinta pada mu namun kau milik
sahabatku dilema
hatiku
andai ku bisa berkata sejujurnya
jangan kau pilih dia
pilihlah aku yang mampu mencinta mu lebih dari dia
bukan ku ingin merebutmu dari sahabat ku
namun kau tahu
cinta tak bisa tak bisa kau salahkan
ku cinta pada mu namun kau milik
sahabatku dilema
hatiku
andai ku bisa berkata sejujurnya
jangan kau pilih dia
pilihlah aku yang mampu mencinta mu lebih dari dia
bukan ku ingin merebutmu dari sahabat ku
namun kau tahu
cinta tak bisa tak bisa kau salahkan
jangan kau pilih dia
pilihlah aku yang mampu mencinta mu lebih dari dia
bukan ku ingin merebutmu dari sahabat ku
namun kau tahu
cinta tak bisa tak bisa kau salahkan
tak bisa kau salahkan
tak bisa kau salahkan
Kecewa-Bunga Citra Lestari
Sedikit waktu yang kau miliki
Luangkanlah untukku
Harap secepatnya datangi aku
S'kali ini ku mohon padamu
Ada yang ingin ku sampaikan
Sempatkanlah...
Hampa kesal dan amarah
S'luruhnya ada dibenakku
Tandai seketika
Hati yang tak terbalas
Oleh cintamu...
Kuingin marah, melampiaskan tapi kuhanyalah sendiri disini
Ingin kutunjukkan pada siapa saja yang ada
Bahwa hatiku kecewa...
Sedetik menunggumu disini, s'perti seharian
Berkali kulihat jam ditangan
Demi membunuh waktu
Tak kulihat tanda kehadiranmu
Yang semakin meyakiniku
Kau tak datang
Luangkanlah untukku
Harap secepatnya datangi aku
S'kali ini ku mohon padamu
Ada yang ingin ku sampaikan
Sempatkanlah...
Hampa kesal dan amarah
S'luruhnya ada dibenakku
Tandai seketika
Hati yang tak terbalas
Oleh cintamu...
Kuingin marah, melampiaskan tapi kuhanyalah sendiri disini
Ingin kutunjukkan pada siapa saja yang ada
Bahwa hatiku kecewa...
Sedetik menunggumu disini, s'perti seharian
Berkali kulihat jam ditangan
Demi membunuh waktu
Tak kulihat tanda kehadiranmu
Yang semakin meyakiniku
Kau tak datang
Sabtu, 30 Januari 2016
Pantai Jelangkung
pantai jelangkung gedangan malang
Mendengar kata jelangkung, sebagian orang pasti terbayang pada sebuah cerita atau legenda makhluk halus turun temurun yang menyeramkan. Namun berbeda dengan jelangkung yang ada di Malang. Ya, jelangkung yang dimaksud di kota apel ini adalah nama sebuah pantai. Ketika berada di Malang, cobalah untuk mengunjungi Pantai Jelangkung ini.Pantai Jelangkung berada di Desa Gajahrejo, Kecamatan Gedangan, Kabupaten Malang. Pantai ini terletak persis di pinggir jalan lintas selatan (JLS) Malang. Nama pantai ini memang unik dan membuat siapapun yang baru pertama mendengarnya merasa penasaran. Namun tak seseram namanya, rona keindahan pantai ini justru terlihat begitu jelas dari jalan raya yang sudah mulus beraspal.
Sebenarnya nama asli pantai ini adalah Jolangkung yang dalam bahasa Jawa berarti ‘ojo liwat’. Adapun dalam bahasa Indonesia, ‘ojo liwat’ berarti ‘jangan lewat’. Dahulu di pantai ini ombaknya terkenal sangat besar hingga meluber ke jalan raya. Siapapun yang lewat di jalan raya tersebut terutama saat ada ombak besar, kemungkinan tergulung ombak. Oleh sebab itu, ketika ada ombak besar kita tidak diperbolehkan lewat, harus menunggu sebentar agar ombak reda. Berdasarkan hal itulah maka pantai ini pun disebut dengan Jolangkung (jangan melewatinya). Kemudian masyarakat sekitar menyebutnya dengan Pantai Jelangkung. Hingga kini, pantai itu memang masih berbahaya jika ada ombak besar.
Namun wisatawan tak perlu takut ketika berkunjung ke pantai ini. Meskipun ombak di Pantai Jelangkung cukup tinggi, tetapi begitu sampai di bibir pantai ombak langsung berubah pelan. Hal ini karena adanya karang yang berada sekitar 10 meter sebelum bibir pantai. Tinggi karang itu hanya sekitar 50 cm, namun memanjang sepanjang pantai sekitar 300 meter, sehingga dari jauh tampak seperti seseorang yang sedang rebahan. Setiap kali ombak datang, air akan terhenti di batu karang ini. Sementara semburan air akan melingkar pelan di tubuh karang seperti air yang sedang membelai.
Pantai ini tergolong baru dikenal oleh masyarakat luas. Jika ingin menikmati keindahan dan keunikannya, Anda tidak dipungut tiket masuk alias masih gratis. Untuk menuju Pantai Jelangkung, dari kota Malang bisa mengikuti rute menuju Pantai Sendang Biru, lalu berbelok ke barat menuju Desa Gajahrejo.
Dari Desa Gajahrejo memasuki kawasan jalur lingkar selatan (JLS) jalan mulai beraspal mulus. Anda ikuti saja jalur JLS tersebut hingga sampai di Pantai Jelangkung. Lokasi pantai yang berada di pinggir jalan akan memudahkan perjalanan Anda. Jika telah sampai, Anda akan terpesona dengan keindahan serta pemandangan sekitar pantai yang begitu eksotik. Di sisi kanan dan kiri jalan dikelilingi oleh perbukitan yang cukup tinggi. Namun di sela-sela bukit itu, pandangan kita bisa menembus pantai yang membiru. Panorama yang mengagumkan tersebut sungguh menawan, seolah-olah seperti berada di luar negeri.
Oya, lokasi Pantai Jelangkung cukup dekat dengan Pantai Ngantep. Wisatawan bisa sekalian berwisata ke pantai yang tak kalah indah ini. Anda juga bisa mengunjungi pantai indah lainnya di Malang seperti Pantai Tamban, Pantai Modangan, Pantai Jonggring Saloko, Pantai Balekambang, dan lain-lain
Pantai Ngudel
BUKIT ASMARA PANTAI NGUDEL DESA SINDUREJO KEC. GEDANGAN KAB. MALANG
Bukit asmara adalah bekit yang berada dikawasan Pantai
Wisata Ngudel. untuk mecapai puncak bukit ini memerlukan niat yang kuwat
semangat yang tinggi dan stamiana extra, intinya perlu sedikit
perjuangan untuk dapat mencapai buit ini.
Seperti Orang yang hendak menggapai asmara, pastinya memerlukan pengorbanan dan perjuangan, tapi jika sudah didapat kepuasan tiada tara yang ia rasakan ( katanya……..)
tapi kalau dipuncak bukit ini bisa anda buktikan sendiri
berikiut sedikit gambaran saat mencapai puncak Bukit Asmara Pantai Wisata Ngudel, saat mencapai puncak langsung disambut oleh semilir anging yang menyejukan jiwa dan raga, walau matahari tepat diatas ubun-ubun tidak akan terasa panas, dari puncak bulit ini kita bisa melihat keindahan Pantai wisata Ngudel Secara Keseluruhan, apalagi saat senja kita bisa melihat keindahan matahari tenggelam.
berikut sedikit gambar yang diambil dari puncak Bukit Asmara
Kesejukan diatas Bukit Asmara
Keindahan Pantai Ngudel dilihat dari puncak Bukit Asmara
Keindahan matahari senja dari puncak Bukit Asmara
Seperti Orang yang hendak menggapai asmara, pastinya memerlukan pengorbanan dan perjuangan, tapi jika sudah didapat kepuasan tiada tara yang ia rasakan ( katanya……..)
tapi kalau dipuncak bukit ini bisa anda buktikan sendiri
berikiut sedikit gambaran saat mencapai puncak Bukit Asmara Pantai Wisata Ngudel, saat mencapai puncak langsung disambut oleh semilir anging yang menyejukan jiwa dan raga, walau matahari tepat diatas ubun-ubun tidak akan terasa panas, dari puncak bulit ini kita bisa melihat keindahan Pantai wisata Ngudel Secara Keseluruhan, apalagi saat senja kita bisa melihat keindahan matahari tenggelam.
berikut sedikit gambar yang diambil dari puncak Bukit Asmara
Kesejukan diatas Bukit Asmara
Keindahan Pantai Ngudel dilihat dari puncak Bukit Asmara
Keindahan matahari senja dari puncak Bukit Asmara
Candi Singasari
Candi Singasari
Kapan tepatnya Candi Singasari didirikan masih belum diketahui, namun para ahli purbakala memperkirakan candi ini dibangun sekitar tahun 1300 M, sebagai persembahan untuk menghormati Raja Kertanegara dari Singasari. Setidaknya ada dua candi di Jawa Timur yang dibangun untuk menghormati Raja Kertanegara, yaitu Candi Jawi dan Candi Singasari. Sebagaimana halnya Candi Jawi, Candi Singasari juga merupakan candi Syiwa. Hal ini terlihat dari adanya beberapa arca Syiwa di halaman candi.
Legenda sekitar Dinasti Singasari
Beberapa candi di Jawa Timur, terutama yang terletak di sekitar kota Malang, mempunyai kaitan sejarah yang erat dengan Kerajaan Singasari. Dinasti Singasari merupakan keturunan Ken Dedes dengan kedua suaminya, Tunggul Ametung akuwu (kepala pemerintahan setingkat kecamatan) Tumapel dan Ken Arok, rakyat kebanyakan yang membunuh, mengambil alih kekuasaan, dan sekaligus merebut istri Tunggul Ametung.
Sejarah Kerajaan Singasari ini melahirkan legenda tentang keris buatan Mpu Gandring yang sangat terkenal di kalangan masyarakat Jawa Timur. Menurut legenda, Ken Arok adalah anak hasil hubungan gelap seorang wanita Desa Panawijen, bernama Ken Endog, dengan Batara Brahma. Tak lama setelah dilahirkan, bayi Ken Arok dibuang oleh ibunya di sebuah pekuburan, kemudian ditemukan dan dibawa pulang oleh seorang pencuri ulung. Dari ayah angkatnya inilah Ken Arok belajar tentang segala siasat dan taktik perjudian, pencurian dan perampokan. Setelah dewasa ia dikenal sebagai perampok yang sangat ditakuti di wilayah Tumapel. Suatu saat Ken Arok berkenalan dengan seorang brahmana bernama Lohgawe yang menasihatinya agar meninggalkan dunianya yang hitam. Atas dorongan Lohgawe, Ken Arok berhenti menjadi perampok lalu mengabdikan diri sebagai prajurit Tumapel.
Pada masa itu yang menjadi akuwu di Tumapel, wilayah Kerajaan Kediri, adalah Tunggul Ametung. Sang Akuwu memperistri Ken Dedes, putri Mpu Purwa yang tinggal di Panawijen. Dari perkawinan tersebut lahir seorang putra bernama Anusapati. Pada suatu hari, Ken Dedes pulang ke Panawijen untuk menjenguk ayahnya. Ketika Ken Dedes turun dari kereta kerajaan, bertiuplah angin kencang yang menyingkap bagian bawah kain panjangnya. Pada saat itu, Ken Arok yang bertugas mengawal kereta Ken Dedes sempat melihat sekilas betis istri Tunggul Ametung tersebut. Di mata Ken Arok, betis Ken Dedes memancarkan sinar yang menyilaukan. Pemandangan tersebut tak mau hilang dari benak Ken Arok. Ia lalu menanyakan hal itu kepada Mpu Purwa. Sang Mpu menjelaskan bahwa sinar yang dilihat Ken Arok merupakan pertanda bahwa Ken Dedes ditakdirkan sebagai wanita yang akan menurunkan raja-raja di Pulau Jawa.
Ken Arok kemudian memesan sebuah keris kepada seorang Mpu di Tumapel yang bernama Mpu Gandring. Untuk membuat sebuah keris yang dapat diandalkan keampuhannya, diperlukan waktu yang cukup lama untuk menempa, membentuk dan menjalankan ritual yang diperlukan. Karena keris yang dipesan tak kunjung selesai, Ken Arok menjadi sangat marah. Ia merebut keris yang belum selesai tersebut lalu menikamkannya ke tubuh pembuatnya. Menjelang ajalnya, Mpu Gandring mengutuk bahwa Ken Arok pun akan mati di ujung keris yang sama dan keris itu akan meminta korban tujuh nyawa.
Keris buatan Mpu Gandring tersebut oleh Ken Arok dipinjamkan kepada temannya yang mempunyai watak suka pamer, yaitu Kebo Ijo. Kebo Ijo memamerkan keris itu kepada teman-teman prajuritnya dan mengatakan bahwa keris itu adalah miliknya. Setelah banyak orang yang mengetahui keris itu milik sebagai milik Kebo Ijo, ken Arok lalu mencurinya dan menggunakannya untuk menikam Tunggul Ametung. Dengan sendirinya tuduhan jatuh kepada kebo Ijo, sementara Ken Arok berhasil menggantikan kedudukan Tunggul Ametung sebagai akuwu dan menikahi Ken Dedes.
Setelah berhasil menjadi akuwu, Ken Arok kemudian menaklukkan Kerajaan Kediri, yang kala itu diperintah oleh Raja yang kala itu diperintah oleh Raja Kertajaya (1191-1222), dan mendirikan Kerajaan Singasari. Ia menobatkan dirinya menjadi raja Singasari yang pertama dengan gelar Rajasa Bathara Sang Amurwabhumi. Dari Ken Dedes, Ken Arok berputra seorang, bernama Mahisa Wongateleng, sedangkan dari Ken Umang ia juga mendapatkan seorang putra bernama Tohjaya. Kutukan Mpu Gandring mulai berlaku. Ken Arok dibunuh dan digantikan kedudukannya oleh Anusapati. Anusapati dibunuh dan digantikan kedudukannya oleh Tohjaya. Tohjaya dibunuh dan digantikan oleh Ranggawuni, anak Anusapati. Ranggawuni kemudian dinobatkan sebagai raja dengan gelar Jayawisnuwardhana dan memerintah Singasari mulai pada tahun 1227 hingga 1268. Jayawisnuwardhana digantikan oleh putranya, Joko Dolog yang bergelar Kertanegara (1268-1292).
Kertanegara adalah Raja Singasari yang terakhir. Pemerintahannya ditumbangkan oleh Raja Kediri, Jayakatwang. Namun Jayakatwang berhasil dikalahkan oleh menantu Kertanegara yang bernama Raden Wijaya. Raden Wijaya yang merupakan keturunan Mahisa Wongateleng dan Raja Udayana di Bali ini kemudian mendirikan kerajaan Majapahit dengan pusat pemerintahan di Tarik (Trowulan)
Candi Penataran
Candi
Panataran terletak di lereng barat daya Gunung Kelud, sekitar 12 km ke
arah utara dari Kota Blitar, tepatnya di Desa Panataran, Kecamatan
Ngleggok, Kotamadya Blitar. Candi ini merupakan sekumpulan bangunan kuno
yang berjajar dari barat-laut ke timur kemudian berlanjut ke tenggara,
menempati lahan seluas 12.946 m2.Gugus candi Panataran
ditemukan kembali pada tahun 1815 oleh Sir Thomas Stamford Raffles (1781
– 1826), Letnan Gubernur Jenderal pemerintah kolonial Inggris yang
berkuasa di Nusantara pada waktu itu. Bersama Dr. Horsfield seorang ahli
ilmu alam, Raffles mengadakan kunjungan ke Candi Panataran. Setelah
diketemukan kembali oleh Raffles, para peneliti mulai berdatangan untuk
melakukan penyelidikan dan pencatatan benda purbakala di kawasan
Panataran. Pada tahun 1867, Andre de la Porte bersama J. Knebel juga
mengadakan penelitian terhadap kawasan candi Panataran. Hasil
penelitiannya diterbitkan pada tahun 1900 dengan judul “De ruines van
Panataran”.
Dalam kitab Negarakertagama, Candi Penataran disebut dengan nama Candi Palah. Diceritakan bahwa Raja Hayam Wuruk (1350 - 1389 M) dari Majapahit sering mengunjungi Palah untuk memuja Hyang Acalapati, atau yang dikenal sebagai Girindra (berarti raja gunung) dalam kepercayaan Syiwa. Oleh karena itu, jelas bahwa Candi Palah sengaja dibangun di kawasan dengan latar belakang Gunung Kelud, karena memang dimaksudkan sebagai tempat untuk memuja gunung. Pemujaan terhadap Gunung Kelud bertujuan untuk menangkal bahaya dan menghindarkan diri dari petaka yang dapat ditimbulkan oleh gunung tersebut.
Berdasarkan tulisan pada sebuah batu yang terletak sisi selatan bangunan utamanya, diduga bahwa Candi Palah dibangun pada awal abad 12 M, atas perintah Raja Srengga dari Kediri. Walaupun demikian, Candi Panataran terus mengalami pengembangan dan perbaikan sampai dengan, bahkan sesudah, masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk. Dugaan ini didasarkan pada berbagai angka tahun yang tertulis pada berbagai tempat di candi ini yang berkisar antara tahun 1197 sampai tahun 1454 M. Seluruh areal Panataran, kecuali halaman yang berada di bagian tenggara, terbagi oleh dua jalur dinding yang melintang dari utara ke selatan menjadi tiga bagian.
a. Gerbang
Gerbang
masuk ke areal candi terletak sisi barat. Dari pintu masuk terdapat
tangga turun ke pelataran seluas sekitar 6 m2. Di pelataran ini terdapat
dua buah arca raksasa penjaga pintu (dwarapala), Pada tatakan arca
tertera tulisan tahun 1242 Saka (1320 M.) dalam huruf Jawa kuno.
Berdasarkan tulisan angka tahun tersebut para pakar menduga bahwa Candi
Panataran baru diresmikan sebagai tempat suci milik kerajaan (state
temple) pada masa pemerintahan Raja Jayanegara, yang memerintah
Majapahit tahun 1309-1328 M.Di sisi belakang emperan, di
antara kedua arca Dwaraphala tersebut, terdapat tangga naik menuju ke
pelataran depan. Di puncak tangga masih terdapat sisa-sisa pintu gerbang
dari bahan batu bata merah. Pintu gerbang ini masih disebut-sebut oleh
Jonathan Rigg dalam kunjungannya ke Candi Panataran pada tahun 1848.
Susunan Candi Panataran memang menarik karena letak bangunan yang satu dengan yang lainnya berhadap-hadapan, berjajar dari depan ke belakang, sehingga sepintas kelihatan agak membingungkan. Susunan bangunan semacam ini mirip dengan susunan pura di Bali. Dalam susunan seperti ini, bangunan yang paling suci terletak di pelataran paling dalam atau paling belakang, yaitu yang paling dekat dengan gunung.
b. Pelataran Depan
Bale
Agung. Di pelataran depan terdapat sekitar 6 buah bekas bangunan, 2
buah diantaranya tidak dapat dikenali lagi bentuk aslinya. Salah satu
bangunan yang penting adalah Bale Agung, yang terletak di sisi
barat-laut pelataran depan, agak menjorok ke barat (ke depan).Bale
Agung, menurut N.J.Krom, dipergunakan untuk tempat musyawarah para
pendeta atau penanda, seperti pura di Bali. Bale Agung merupakan
bangunan yang berbentuk seperti panggung persegi panjang berukuran 37 X
18,84 m2 dengan lantai setinggi 1,44 meter. Dinding dan atap bangunan
sudah tak bersisa. Hanya lantainya yang masih utuh.Pada lantai
terdapat beberapa umpak batu yang diperkirakan fungsinya dahulu adalah
sebagai penumpu tiang-tiang kayu penyangga atap. Seluruh lantai terbuat
dari batu, dihiasi pahatan naga yang melilit di sekeliling dinding
lantai dan kepalanya menyembul di setiap sudut lantai.
Di pertengahan setiap sisi terdapat tangga diapit dua buah arca Mahakala. Semua arca Mahakala masih berada di tempatnya kecuali yang berada di sisi timur.
Tempat
Tinggal Pendeta. Bangunan yang letaknya di sisi utara, sejajar dengan
Bale Agung, ini diperkirakan dahulu digunakan sebagai tempat tinggal
pendeta. Seluruh bangunan sudah hancur, sehingga hanya tinggal tatanan
umpak yang tersisa.
Batur
Pendapa. Bangunan ini disebut juga Batur Pendapa. Letaknya di sebelah
tenggara Bale Agung, tepat di belakang tempat tinggal para pendeta.
Sebagaimana halnya dengan Bale Agung, yang masih tersisa saat ini
hanyalah lantai bangunan yang terbuat dari batu, seluas 29,05 X 9,22 m2
dengan tinggi 1,5 m. Sekeliling dinding lantai dihiasi dengan relief
cerita-cerita. Diduga bangunan Batur Pendapa ini dahulu berfungsi
sebagai tempat untuk meletakkan sesajian dalam upacara keagamaan.Tangga
untuk naik ke lantai pendapa hanya terdapat di sisi barat atau bagian
depan. Terdapat dua buah tangga, di kiri dan di kanan, yang pada
masing-masing diapit oleh sepasang arca raksasa kecil bersayap, bertumpu
pada salah satu lututnya dan salah satu tangannya memegang gada. Pipi
atau dinding pembatas tangga berbentuk gelung dengan hiasan 'tumpal'
yang indah pada puncaknya. Pada pelipit atas sisi timur dinding lantai,
tersembunyi di antara pahatan hiasan sulur dan dedaunan, terdapat
pahatan angka tahun yang menunjukkan bahwa bangunan ini dibangun pada
tahun 1297 Saka atau 1375 Masehi.
Batur Pendapa ini juga dihiasi dengan pahatan naga-naga yang saling membelakangi, melilit di sekililing dinding lantai. Ekor kedua naga yang saling membelakangi tersebut saling membelit, sedangkan kepalanya yang mendongak keatas, memakai kalung dan berjambul menyembul ke atas di antara pilar-pilar bangunan.
Bangunan Lain. Kedua bekas bangunan lainnya hanya tinggal fondasinya yang terbuat dari bata merah. Melihat banyaknya umpak batu yang tersisa di pelataran depan, diduga dahulu terdapat bangunan-bangunan yang menggunakan tiang kayu seperti yang dijumpai pada pura-pura di Bali. Banyaknya bangunan yang menggunakan tiang-tiang kayu belum diketahui secara pasti.
c. Pelataran tengah
Sekitar 8 m di timur atau belakang Batur Pendapa terdapat bekas dinding batu bata yang melintang dari utara ke selatan, yang membatasi pelataran depan dengan pelataran tengah. Di ujung selatan perbatasan, segaris dengan gerbang depan, terdapat bekas pintu gerbang yang di depannya dijaga oleh sepasang Arca Dwarapala dalam ukuran yang lebih kecil daripada yang terdapat di gerbang depan. Pada tatakan salah satu arca tertera angka tahun 1214 Saka (1319 M). Belum diketahui peristiwa apa yang dikaitkan dengan angka tahun ini. Di pelataran tengah ini masih dapat disaksikan sekitar 7 bekas bangunan, baik yang terbuat dari bahan batu bata merah maupun yang dibuat dari bahan batu andesit. Dari ketujuh bekas bangunan tersebut enam di antaranya sudah tidak dapat dikenali bentuknya.
Pelataran
tengah terbagi dua lagi oleh dinding yang membujur arah timur-barat.
Belum dapat diketahui apakah pelataran tengah ini dahulu dikelilingi
oleh tembok, karena yang tertinggal hanya fondasi saja. Begitu juga
tembok yang mengelilingi seluruh areal Panataran sudah runtuh. Tembok
keliling dan dinding penyekat terbuat dari bahan batu bata merah yang
tak mampu bertahan dalam perjalanan waktu yang panjang.
Candi
Angka Tahun. Bangunan ini berada sekitar 20 m. di sebelah timur Batur
Pendapa, seluruhnya terbuat dari batu andesit. Disebut Candi Angka Tahun
karena bangunan di atas ambang pintu masuknya jelas terpahat angka
tahun 1291 Saka (1369 M). Masyarakat setempat lebih mengenalnya dengan
sebutan Candi Brawijaya, karena bangunan ini dipergunakan sebagai
lambang Kodam Brawijaya. Sebagian orang menyebutnya Candi Ganesha,
karena di dalam bilik candi terdapat sebuah arca Ganesha (dewa berkepala
gajah). Bentuk Candi Angka Tahun ini sangat dikenal masyarakat,
sehingga seakan-akan mewakili seluruh candi Panataran.Candi
Angka tahun menghadap ke barat, karena pintu candi terletak di sisi
barat. Di halaman depan, di kiri dan kanan bangunan candi, terdapat
sepasang arca. Kaki candi cukup tinggi, sehingga untuk mencapai pintu
dibuat tangga batu dengan pipi tangga berbentuk 'ukel' (gelung) besar
dengan hiasan ' tumpal' berupa bunga-bungaan dalam susunan segitiga sama
kaki. Dalam tubuh candi terdapat bilik (garba grha), yang di dalamnya
terdapat arca Ganesha.
Sebagaimana
candi lainnya, di atas ambang pintu terdapat hiasan kalamakara. Tepat
di bawahnya, tertera angka tahun yang telah dijelaskan di atas. Pada
dinding di ketiga sisi lainnya terdapat relung yang menyerupai pintu
semu, yang juga dihiasi dengan kalamakara di atasnya. Di Jawa Timur,
Kalamakara sering disebut Banaspati yang berarti raja hutan. Kala di
atas ambang pintu dan relung candi dimaksudkan untuk menakut-nakuti roh
jahat agar tidak berani masuk ke lingkungan candi.Atap candi
dipenuhi dengan hiasan yang meriah, dengan puncak berbentuk persegi. Di
bagian atas bilik candi pada batu penutup sungkup terdapat relief
'Surya', yakni lingkaran yang dikelilingi oleh pancaran sinar berupa
garis-garis bersusun vertikal membentuk beberapa buah segitiga sama
kaki. Relief 'Surya' yang merupakan lambang Kerajaan Majapahit ini juga
ditemukan di beberapa candi lain di Jawa Timur dalam bentuk yang sedikit
bervariasi.
Candi
Naga. Bangunan ini di sebut Candi Naga karena sekeliling tubuhnya
dililit oleh pahatan berwujud naga. Bangunan candi seluas 4.83 X 6,57 m.
dengan tinggi 4,70 m. ini juga terletak di pelataran tengah. Seluruh
bangunan terbuat dari batu andesit. Seperti Candi Angka Tahun, pintu
masuk ke bilik candi terletak di sisi barat. Kaki candi cukup tinggi,
sehingga untuk mencapai pintu dibuatkan tangga. Pipi tangga berbentuk
'ukel' berhiaskan 'tumpal'. Di kanan kiri kaki tangga terdapat arca
raksasa membawa gada yang saat ini hanya tinggal satu. Bangunan yang ada
saat ini merupakan hasil pemugaran tahun 1917-1918. Yang berhasil
dikembalikan ke bentuk aslinya hanya bagian kaki dan tubuh candi. Bagian
atap yang kemungkinan dibuat dari bahan yang tidak tahan lama telah
runtuh.
Pada
dinding tubuh candi terdapat pahatan sembilan tokoh yang berdiri di
kiri dan kanan pintu masuk, di setiap sudut, dan di tengah ketiga
dinding lainnya. Kesembilan tokoh ini digambarkan dalam busana kerajaan
yang mewah dan dilatarbelakangi oleh 'prabha' (tempat bersandar yang
dihisasi dengan sinar kedewaan).Salah satu tangannya memegang
genta, sedang tangan yang lain menyangga tubuh naga yang melingkari
bagian atas bangunan. Di antara pahatan tokoh-tokoh tersebut terdapat
pahatan bermotif bulatan yang disebut 'motif medalion'. Dalam bulatan
terdapat kombinasi relief daun-daunan atau bunga-bungaan dan berbagai
jenis binatang. Di antara bulatan-bulatan tersebut terdapat relief
cerita binatang dalam ukuran yang lebih kecil. Sayang cerita yang
digambarkan dalam relief ini belum dapat diungkapkan.
Menurut
orang Bali yang pernah mengunjungi Panataran, fungsi Candi Naga sama
dengan fungsi Pura Kehen di Bali, yaitu sebagai tempat penyimpanan
benda-benda milik para dewa. Barangkali lebih tepat bila Candi Naga
dibandingkan dengan Pura Taman Sari yang terletak di Kabupaten
Klungkung. Pura yang ditemukan tahun 1975 ini menunjukkan pertalian yang
dekat dengan kerajaan Majapahit. Selain berfungsi sebagai tempat
pemujaan Kerajaan Klungkung, Pura Taman Sari juga dipergunakan sebagai
tempat 'pemasupatian' (pemberian kesaktian) terhadap senjata-senjata
pusaka yang dibawa dari kerajaan Majapahit. Apabila perbandingan ini
dapat dibenarkan, maka fungsi Candi Naga bukan hanya untuk menyimpan
benda-benda upacara milik para dewa, tetapi lebih juga sebagai tempat
'pemasupatian' pusaka milik kerajaan Majapahit. Dengan demikian, untuk
keperluan 'pemasupatian', pusaka-pusaka Majapahit tidak perlu dibawa ke
Bali.d. Pelataran Dalam
Halaman
terakhir adalah pelataran dalam yang semula juga dibatasi dengan
dinding yang melintang arah utara-selatan. Di selatan juga terdapat
bekas pintu gerbang yang dijaga oleh sepasang arca dwarapala. Di
pelataran ini terdapat sekurangnya 9 bangunan, 2 buah yang sudah dapat
dikenali adalah candi induk dan susunan percobaan bangunan tubuhnya.
Ketujuh bangunan lainnya tinggal reruntuhan yang masih belum
terungkapkan bentuk dan fungsinya.
Candi
Utama (Induk). Candi Induk merupakan bangunan yang terbesar di antara
seluruh bangunan Panataran. Lokasi bangunan terletak di pelataran paling
belakang (timur), yang dianggap sebagai bagian yang suci. Bangunan
candi terdiri atas tiga teras bersusun dengan tinggi seluruhnya 7,19 m.Teras
pertama berbentuk empat persegi dengan diameter 30,06 meter untuk arah
timur barat. Di pertengahan keempat sisinya terdapat bagian yang
menjorok keluar sekitar 3 m. Untuk naik ke teras pertama, terdapat dua
buah tangga di kiri dan kanan sisi barat. Pada masing-masing sisi kedua
tangga terdapat arca dwarapala yang pada tatakannya terpahat angka tahun
1269 Saka (1347 M). Sepanjang dinding teras pertama dipenuhi pahatan
relief cerita.
Teras kedua berukuran lebih kecil dibandingkan dengan teras pertama, karena pada bagian yang menjorok keluar di teras pertama justru sedikit menjorok ke dalam di teras kedua. Perbedaan ukuran antara teras pertama dan teras kedua membentuk selasar di lantai teras pertama, yang memungkinkan orang berjalan mengelilingi bangunan sambil menyaksikan adegan-adegan yang digambarkan dalam relief cerita yang terpahat di sepanjang dinding. Pada dinding di teras pertama dan kedua berjajar panil pahatan cerita Ramayana dan dan Krisnayana diselingi dengan hiasan motif medalion.
Pada
teras kedua terdapat sebuah tangga naik yang letaknya hampir di
pertengahan dinding. Tangga naik ini bersambung dengan tangga yang
berada di teras ketiga.Teras ketiga berbentuk hampir bujur
sangkar. Dindingnya berpahatkan naga bersayap dengan kepala yang sedikit
mendongak ke depan dan singa bersayap dengan kaki belakang dalam posisi
berjongkok sedangkan kaki depannya terangkat ke atas. Pahatan-pahatan
pada dinding teras ketiga ini selain untuk mengisi bidang yang kosong
juga berfungsi sebagai pilar bangunan.
Pada
waktu dilakukan pembongkaran lantai teras ketiga, dalam rangka
pemugaran, didapati bahwa bagian tengah lantai terbuat dari bata merah.
Nampak jelas denah bangunan yang berbentuk persegi empat dengan
bagian-bagian yang menjorok kedepan. Berdasarkan temuan tersebut, timbul
dugaan bahwa bangunan asli Candi Panataran dibuat dari bata merah.
Dalam kurun waktu berikutnya Panataran mengalami perluasan dengan cara
menutupi bangunan aslinya menggunakan batu andesit. Perluasan itu
diperkirakan terjadi pada zaman Majapahit.
Teras
ketiga merupakan emperan kosong. Di tempat itu seharusnya berdiri tubuh
candi yang sampai saat ini belum berhasil dikembalikan ke wujud aslinya
karena belum semua bagian bangunan berhasil ditemukan. Sebagian dari
tubuh candi induk ini telah disusun dalam susunan percobaan di halaman
candi.Prasasti Palah. Di selatan candi utama masih berdiri
tegak sebuah batu prasasti. Menilik besarnya ukuran batu prasasti, para
ahli menduga sejak semula batu tersebut memang terletak di tempat itu.
Prasasti
yang ditulis menggunakan huruf Jawa Kuno tersebut berangka tahun 1119
Saka (1197 M.), dibuat atas perintah Raja Srengga dari Kerajaan Kediri.
Isi prasasti yang, antara lain, menyebutkan tentang peresmian sebuah
tanah perdikan untuk kepentingan Sira Paduka Batara Palah, mendasari
dugaan bahwa yang dimaksud dengan Palah tidak lain adalah Candi
Panataran. Andaikata benar bahwa Palah adalah Candi Panataran, maka usia
Candi Panataran sekurangnya telah mencapai 250 tahun dan pembangunan
candi ini mengalami perjalanan panjang, yaitu dari tahun 1197, zaman
kerajaan Kediri, sampai pada tahun 1454, zaman kerajaan Majapahit.
Hampir semua bangunan yang dapat masih dapat disaksikan sekarang berasal
dari masa pemerintahan raja-raja Majapahit. Barangkali
bangunan-bangunan yang lebih tua (dari zaman Kediri) telah lama runtuh.e. Bangunan lain.
Masih
ada dua buah bangunan lain yang letaknya di luar areal Panataran yang
masih ada hubungannya dengan candi Panataran, yaitu sebuah kolam
berangka tahun 1337 Saka (1415 M.) yang terletak di sebelah tenggara dan
sebuah kolam 'petirtaan' (tempat mandi) dalam ukuran yang agak besar,
yang terletak kira-kira 200 meter di timur-laut areal candi.
Dalam kitab Negarakertagama, Candi Penataran disebut dengan nama Candi Palah. Diceritakan bahwa Raja Hayam Wuruk (1350 - 1389 M) dari Majapahit sering mengunjungi Palah untuk memuja Hyang Acalapati, atau yang dikenal sebagai Girindra (berarti raja gunung) dalam kepercayaan Syiwa. Oleh karena itu, jelas bahwa Candi Palah sengaja dibangun di kawasan dengan latar belakang Gunung Kelud, karena memang dimaksudkan sebagai tempat untuk memuja gunung. Pemujaan terhadap Gunung Kelud bertujuan untuk menangkal bahaya dan menghindarkan diri dari petaka yang dapat ditimbulkan oleh gunung tersebut.
Berdasarkan tulisan pada sebuah batu yang terletak sisi selatan bangunan utamanya, diduga bahwa Candi Palah dibangun pada awal abad 12 M, atas perintah Raja Srengga dari Kediri. Walaupun demikian, Candi Panataran terus mengalami pengembangan dan perbaikan sampai dengan, bahkan sesudah, masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk. Dugaan ini didasarkan pada berbagai angka tahun yang tertulis pada berbagai tempat di candi ini yang berkisar antara tahun 1197 sampai tahun 1454 M. Seluruh areal Panataran, kecuali halaman yang berada di bagian tenggara, terbagi oleh dua jalur dinding yang melintang dari utara ke selatan menjadi tiga bagian.
a. Gerbang
Susunan Candi Panataran memang menarik karena letak bangunan yang satu dengan yang lainnya berhadap-hadapan, berjajar dari depan ke belakang, sehingga sepintas kelihatan agak membingungkan. Susunan bangunan semacam ini mirip dengan susunan pura di Bali. Dalam susunan seperti ini, bangunan yang paling suci terletak di pelataran paling dalam atau paling belakang, yaitu yang paling dekat dengan gunung.
b. Pelataran Depan
Di pertengahan setiap sisi terdapat tangga diapit dua buah arca Mahakala. Semua arca Mahakala masih berada di tempatnya kecuali yang berada di sisi timur.
Batur Pendapa ini juga dihiasi dengan pahatan naga-naga yang saling membelakangi, melilit di sekililing dinding lantai. Ekor kedua naga yang saling membelakangi tersebut saling membelit, sedangkan kepalanya yang mendongak keatas, memakai kalung dan berjambul menyembul ke atas di antara pilar-pilar bangunan.
Bangunan Lain. Kedua bekas bangunan lainnya hanya tinggal fondasinya yang terbuat dari bata merah. Melihat banyaknya umpak batu yang tersisa di pelataran depan, diduga dahulu terdapat bangunan-bangunan yang menggunakan tiang kayu seperti yang dijumpai pada pura-pura di Bali. Banyaknya bangunan yang menggunakan tiang-tiang kayu belum diketahui secara pasti.
c. Pelataran tengah
Sekitar 8 m di timur atau belakang Batur Pendapa terdapat bekas dinding batu bata yang melintang dari utara ke selatan, yang membatasi pelataran depan dengan pelataran tengah. Di ujung selatan perbatasan, segaris dengan gerbang depan, terdapat bekas pintu gerbang yang di depannya dijaga oleh sepasang Arca Dwarapala dalam ukuran yang lebih kecil daripada yang terdapat di gerbang depan. Pada tatakan salah satu arca tertera angka tahun 1214 Saka (1319 M). Belum diketahui peristiwa apa yang dikaitkan dengan angka tahun ini. Di pelataran tengah ini masih dapat disaksikan sekitar 7 bekas bangunan, baik yang terbuat dari bahan batu bata merah maupun yang dibuat dari bahan batu andesit. Dari ketujuh bekas bangunan tersebut enam di antaranya sudah tidak dapat dikenali bentuknya.
Teras kedua berukuran lebih kecil dibandingkan dengan teras pertama, karena pada bagian yang menjorok keluar di teras pertama justru sedikit menjorok ke dalam di teras kedua. Perbedaan ukuran antara teras pertama dan teras kedua membentuk selasar di lantai teras pertama, yang memungkinkan orang berjalan mengelilingi bangunan sambil menyaksikan adegan-adegan yang digambarkan dalam relief cerita yang terpahat di sepanjang dinding. Pada dinding di teras pertama dan kedua berjajar panil pahatan cerita Ramayana dan dan Krisnayana diselingi dengan hiasan motif medalion.
Langganan:
Postingan (Atom)